Kamu Boleh Tidak Percaya Diri : Babak Satu
Dia berjalan keluar dari ruangan tempat ia mengajar, bokongnya bergelak ke kanan ke kiri karena kakinya yang kependekkan. Itu juga kadang menjadi bahan tawaan murid murid putrinya. Jika saja mereka membayangkan lelaki ini menjadi suaminya kelak pasti mereka segan dan menghormati layaknya guru yang lain
Dan hari beganti
Pagi ini cerah. Pukul 7.00 dan semua murid murid di asrama terbiasa menyiapkan materi pelajaran. Sebelum mereka masuk ke kelas, mereka suka ngobrol kecil di teras atau kadang berlarian disepanjang penjuru koridor untuk pemanasan.
Guru itu masuk. Penampilannya takkan pernah berganti dua sampai lima hari kedepan. Murid murid yang dia ajar biasanya semakin meremehkan. Guru yang naif nan polos itu membuka kelas dengan ucapan salam. Dan semua murid menjawab dengan lirih. Tidak usah berharap salam pagi ini akan semarak karena gurunya saja tidak pernah menggambarkan kesemangatan dalam hidupnya.
"Orang yang bijak bisa terlihat dari bagaimana dia berpakaian. Karena dengan pakaian lah, orang orang bisa mendapatkan kesan baik pertama berjumpa". Dengan rasa percaya diri yang masih serupa dengan hari kemarin, dia mengatakan itu. Dan tidak pernah takut apabila disangkal oleh sebagian murid murid yang sok pintar
Lalu ada suara yang tak dikenal sumbernya, bilang "Yap! Betul itu!". Dan ada sebesit kikikan jika orang orang teliti mendengar
Sang Guru mengangguk mengiyakan dengan tatapan seluas kelas yang ia kini ia petuahkan. Padahal dua murid dibawah yang lolos dari tatapannya sejak salam pertama dan ketiga bergumam ngakak tak karuan.
Sang Guru menerangkan pelajaran sampai tuntas. Kemudian dia meninggalkan kelas dan seorang anak dengan postur tubuh tambun mendekati. Matanya menyembunyikan rasa iba dan berjabat tangan dengan mencium punggung tangan Sang Guru. Benar benar sungguh mencium dengan penghayatan
"Gimana kabarnya?" Basa basi yang sudah kelewat basi.
"Baik pak. Syukurlah. Pak tadi saya dengerin semua penjelasan bapak tau, mulai dari awal sampe akhir bapak jelas banget!"
"Makasih, hmmm. Siapa namamu?, saya coba lagi"
"Adnan pak."
"Oh iya! Maaf. Yang adeknya sekolah disini juga kan?"
"Bukan. Itu Dio pak!"
"Oh maaf maaf... soalnya rambut kamu sama sama ikal sih. Jadi keliatan mirip!"
"Yah bapak.....", Adnan tersenyum tipis dan tersipu malu
Padahal sudah lima tahun dia mengajar dan ingatannya tentang murid murid tidak sekuat guru guru yang lain. Bahkan tak sekuat ingatan guru yang baru lima bulan mengajar. Sang Guru setiap sore dan pagi, atau ketika sedang tidak ada jadwal ngajar hanya berdiam diri saja di kamar. Ketika sarapan pun dia hanya menitipkan murid yang ingin makan ke dapur asrama. Hidupnya dibatas oleh rasa malasnya dan pintu berwarna biru portal lalu lalangnya dirinya dan dunia luar bersama manusia.
Kalo orang orang yang julid boleh membicarakan Adnan. Adnan adalah anak yang rajin tapi tak tahu tempat. Dia suka ceramah, tapi juga tak tahu tempat. Misalkan, ketika teman teman sebayanya sedang berbaring untuk istirahat sementara waktu, dia memojokkan mereka dengan ucapan menyakitkan. Menurutnya semua perkataan itu bisa merubah teman temannya yang awalnya malas menjadi semangat, justru sebaliknya semuanya hanya menghancurkan hubungan pertemanan. Pernah dia bilang,
"Kalian ini kerjaannya dari pagi sampe entar mau berangkat sekolah, molor terus. Semangat kek. Liat nih kayak saya kalo sekolah gak pernah ngantuk meskipun ga tidur pagi. Jadi orang itu harus semangat!, liat tuh Bapak Putra, dia tetap semangat ngajarin kalian, tidak seperti guru guru yang lain, yang langsung ngambek kalo kelas tiba tiba rame"
Terus anak yang geletak disamping loker penuh coretan tip-x berkata, "Bapak Putra?, orang kerdil itu? Oh, jadi sekarang dia jadi panutan kamu setelah kamu bilang Bu Susi itu favorit kamu , begitu?" Ia melanjutkan kipas kipasannya dengan buku yang tak bersampul
"Hahaha iya. Eh tahu gak, semalem Adnan bilang kalo Bu Susi itu cakep banget, setiap dia ngajar dia Bu Susi suka merhatiin dia, suka ngeliatin dia, dan suka senyum senyum sendiri ke arah dia. Katanya juga, kalo misalkan Bu Susi ternyata suka sama dia, Adnan rela jadi pacarnya", anak ini menimpali
"Tapi kan, Bu Susi janda?", kata anak disampingnya lagi
"Ya gapapa sih. Masih sama aja kok rasanya"
"Hahahahaha", kamar asrama bagian sebelah timur itu bising suara tertawa. Suaranya terdengar hingga ke rumahnya sesepuh asrama. "hahahaha", dan tawa itu semakin keras
Adnan menyerah untuk memercik kesemangatan teman temannya. Karena dia juga sadar akan sifatnya yang masih banyak kekurangan dan dia punya kepercayaan diri di tempat yang salah. Tak seharusnya juga dia membeberkan hal itu. Apalagi ke Bruno. Anak yang mulutnya paling lebar diantara teman teman angkatannya. Dia suka cerita apa saja yang ia dengar. Tanpa disaring dulu.
Yang sekarang dia harus lakukan adalah mengisi amunisi ibanya untuk mempertahankan kobaran kesemangatan Bapak Putra, orang kerdil yang ditunjuk untuk menjadi guru. Soalnya, kalo sampe dia berhenti ngajar karena sifat murid murid yang kurang ajar ini. Takkan ada lagi guru yang mengajar dengan kobaran semangat dan penjelasan yang rinci. Pada akhirnya yang tersisa adalah guru guru mendapat gaji UMR tapi ogah ogahan mau ke podium jika terjadwal mengajar, dan sekalinya mengajar, penjelasannya sangat rancu. bahkan orang terpintar sedunia kehilangan variabel untuk mengerti, dan intuisi dalam wujud apapun tak bisa mencerna. Kalo sampe Bapak Putra berhenti mengajar, entah kepada siapa lagi Adnan bisa mendapat penjelasan yang hebat
Comments
Post a Comment